Selasa, 05 Agustus 2014

Mengukur Kosentrasi Presiden Ke-7 atas Pertahanan Negara dengan Tensi Regional sekitar NKRI

Mari kita telisik Presiden ke 7 JOKO WIDODO




Bila berfikir sebagai Presiden ke-7, konsep pertahanan Negara saat ini sejatinya menyesuaikan dinamika kawasan dan arah budged Pertahanan Negara Regional yang sesungguhnya menyimpan "paket" penggunan kedepannya, seperti Tionkok dengan Budged Militer yang fantastik, Singapore-Malaysia-Philipine-Thailand-Vietneam yg memainkan pola kedekatan dengan Super power dan Super power baru (India dan China), sementara Australia dengan Permaian Good Dog Good Boy. 

Awal mula Presiden ke-1, Sukarno tidaklah punya konsep militer, hanya saja penggabungan konsep Politik dan nuansa kenegarawanan yg karismatik dapat menumbuhkan patriotisme dadakan dan hal ini ter apresiasi oleh negara yang berkepentingan atas pemenang WW2, dimana terbagi 2 Blok (Timur-Barat / Demokrasi-Komunis), sehingga Sukarno sangat lihat memainkan peran di tengah 2 episentrum Super power masa itu, dengan adanya issu wilayah yg belum diserahkan Belanda, berdatanganlah berbagai ALUTSISTA "Anyar" masa itu dan semua diarahkan ke Timur Indonesia. namun KONSEP PERTAHANAN sebenarnya tidaklah muncul, yang pada akhirnya, semua PERKAKAS ANYAR itu jadi rongsokan pada masa kejatuhan Sukarno dan transisi ke Jend Pur Suharto.

Bila kita menelisik Pemerintahan Presiden Ke-2 (Jendral Pur Suharto) melakukan penumpukan kekuatan di Java, karena dulu naiknya Jendral ini dikarenakan kuatnya dukungan USA dan Brithis Raya sehingga dipaksa harus mengikuti kemauan dan rancangan USA dan Brithis raya, akhirnya semua berfikir Java Central adalah yang utama, Lihat saja selama ini dimana sih alamat Divisi I dan II Kostrad.  Lihat saja dimana lokasi pangkalan utama AL dan komando kekuatan Marinir berada.  Meski beberapa skuadron jet tempur ada di luar Jawa tetap saja pergelaran kekuatan militer dan alutsista ada di jantungnya Indonesia, pulau Jawa. Bahkan seluruh MBT Leopard dan Tank Marder yang akan datang dalam waktu dekat masih  juga diletakkan di Jawa. Lebih dalam lagi, apakah Suharto berfikir apa yg dilakukan Negara Regional dengan Kepentingan NKRI dimasa itu, jawabanya adalah 'SAYA TANYA DULU SAUDARA USA dan SAUDARI BRITISH RAYA" apa mau mereka ...?

Presiden ke 3 dan Presiden Ke 4, tidaklah banyak yang bisa di banggakan, maklum masa itu adalah transisi demokrasi yang luar biasa yang saban hari gaung nya adalah "PEOPLE POWER", hanya saja banyak pendekatan Pertahanan secara Mikro dan pembenahan regulasi yang sudah dilahirkan, dan diakhir tercetusnya pemisahan ABRI, menjadi TNI dan POLRI, ini adalah langkah baik sehingga ada model, Pertahanan adalah TNI dan Keamanan adalah POLRI. serta jangan lupa Pergesaran Panglima TNI dari 3 Matra secara bergantian dijalankan.
 

Memasuki era Presiden ke 5, Megawati sukarno Putri memulai banyak pemikiran "LOOK OUT", namun karena aroma politik sangat kental, dan komposisi liquiditas RI saat itu sangat memprihatikan sehingga tidak terlihat banyak yang berubah, hanya saja "jangan Lupa" Megawati mengawali Sukhoi datang menjadikan kita berfikir pertahan menyeluruh itu penting, air power perlu dikumandangkan, mengingat saat itu, SAUDARA dan SAUDARI SUHARTO melakukan embargo atas ALUTSISTA yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun jangan lupa apa yg dicapai Presiden ke 3 dan Presiden ke 4, juga ditindak lanjuti Presiden Ke 5 untuk kelengkapan regulasi den pendekatan hal mikro dengan menempatkan Panglima TNI yg sudah mulai berfikir LOOK OUT, dimana mengurai Java Centris dalam pola pemusatan kekuatan militer RI sudah mulai di cairkan dengan pengembangan dan penambahan kekuatan 3 matra dibeberapa pulau besar.

Kehadiran Presiden ke 6, Jendral Pur SBY, sudah terpatri dari ke ikut sertaan SBY dalam Kabinet di 4 Presiden yang silih berganti dari masa 1996 - 2004, Mengingat luasnya wilayah tanah air kita dan untuk merespon cepat pengamanan teritori Indonesia, sangat dibutuhkan model pertahanan wilayah gabungan. Kogabwilhan berbeda dengan Kowilhan yang dibubarkan pertengahan tahun 80an.  Kowilhan lebih berorientasi pertahanan darat meski membawahi Kodau dan Daeral di wilayahnya.  Maklum saja jumlah armada kapal perang hanya berkisar 80an, Marinir hanya 3 batalyon dan alutsista udara semacam pesawat tempur saat itu masih ditumpuk di Jawa dan hanya memiliki 3 skuadron. Disadari oleh Presiden ke 6 yang sebentar lagi purna tugas, banyak SBY lakukan untuk Penghebatan dan pembagusan kekuatan pertahanan RI di era SBY walaupun akan berakhir beberapa bulan ke depan, akan “dipuncakpasskan” dengan pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Model pertahanan ini adalah komando integrasi matra AD, AL dan AU dalam ruang wilayah masing-masing dengan kemampuan reaksi cepat bersengat lebah jika ada yang berani mengancam dan mengganggu teritori.
 
Ada pemikiran kalangan Politisi, bahwa lebih baik militer RI memperbanyak dulu jumlah alutsistanya baru kemudian membentuk Kogabwilhan. Mana lebih baik membangun rumahnya lebih dulu baru membeli perabotnya atau membeli perabotnya dulu baru membangun rumahnya. Sebenarnya kalau kita memandang suasana panen raya alutsista tahun ini dan suasana hiruk pikuk di MEF II (2015-2019) nanti maka sudah selayaknya kita bangun rumahnya lebh awal. Karena jika Kogabwilhan dibangun tahun ini maka isian perabotnya dalam rentang 5-10 tahun akan segera terisi dan terdistribusi. Dengan berasumsi bahwa angggaran pembelian alutsista di MEF II mencapai US $ 20 milyar maka isian alutsista selama lima tahun ke depan diyakini akan mampu menampung kebutuhan perabotan rumah Kogabwilhan meski belum ideal. Jika diprediksi target pemenuhan kebutuhan alutsista Kogabwilhan adalah sampai tahun 2024 (MEF III) maka kebutuhan perabotan ideal itu akan terpenuhi.  Salah satu indikator pendukungnya yang mesti dipenuhi adalah peningkatan belanja senjata alutsista dari US $15 milyar di MEF I menjadi US $ 20 milyar di MEF II dan US $ 28 milyar di MEF III.  Angka-angka ini sangat realistis sejalan dengan perjalanan peningkatan kekuatan ekonomi dan kesejahteraan kita.

Terpilihnya Presiden ke 7 dengan amanat dan keputusan KPU, yang sebentar lagi dikuatkan oleh MK, maka seyogyanya JOKO WIDODO berfikir mantap dengan melanjutkan MEF II dan tidak ragu menjalankan konsep pertahanan yang sudah dilakukan Presiden ke 6 dengan tidak lagi menumpuk JAVA CENTRIS, lihat saja apa yang dimaksud dengan pembentukan Kogabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan)

Kogabwilhan adalah bagian dari upaya untuk menghadirkan kekuatan pemukul TNI di sekitar hotspot yang diprediksi menjadi ancaman teritori dan separatis.  Natuna, misalnya sangat jelas bentuk ancamannya karena di perairannya ada persinggungan klaim teritori dengan si Naga Cina yang mulai menunjukkan keangkuhan militernya.  Pola tingkah militer negeri itu mau tak mau harus disikapi dengan kehadiran militer RI yang terus menerus di sepanjang tahun untuk mengawal perairan Natuna.
Pengawalan yang terus menerus tentu memerlukan isian ketersediaan alutsista  utamanya AL dan AU.  Beruntunglah dalam waktu dekat ini 3 kapal perang Bung Tomo Class akan tiba sedangkan untuk AU sudah mulai berdatangan jet tempur F16CD.  Juga berbagai alutsista jenis lain. Sekedar gambaran bedanya hotspot Aceh dan Natuna adalah model pergerakan militernya dan jenis ancamannya.  Untuk Natuna jelas merupakan ancaman pagar teritori dan lebih banyak pergerakan alutsista AL dan AU. Bahkan jika terjadi konflik terbuka jenis pertempurannya adalah pertempuran laut dan udara.  Sedangkan Aceh dengan ancaman separatisnya akan lebih banyak pergerakan pasukan dan alutsista AD.

untuk TNI AD, inilah setumpuk ALUTSISTA yang sudah dan sedang berdatangan:
untuk TNI AL, inilah setumpuk ALUTSISTA yang sudah dan sedang berdatangan:
untuk TNI AU, inilah setumpuk ALUTSISTA yang sudah dan sedang berdatangan:
Kehadiran Kogabwilhan memang diperlukan untuk memastikan langkah cepat mendeteksi, menganalisis dan memukul lawan di batas teritori dengan perintah panglima “regional” Kogabwilhan.  Namun isian perabotnya mutlak harus ada.  Jangan sampai ada rumah, perabot baru mau akan diisi. Biak AFB yang direncanakan sebagai pangkalan skuadron jet tempur untuk saat ini semua sudah tersedia, landasan, apron, satuan radar, paskhas namun alutsista utamanya berupa jet tempur belum tersedia.  Padahal kehadiran skuadron tempur TNI AU di Papua ini sangat diperlukan.  Bukankah dengan lebih seringnya lalu lalang jet tempur di Papua akan memberikan dampak kebanggaan bagi warga bangsa disana sekaligus pengawalan teritori udara yang memadai.

Kita berharap tidak ada kendala teknis dalam pembentukan minimal 1 Kogabwilhan sebelum perayaan 5 Oktober 2014 mendatang. Bukankah perayaan HUT TNI kali ini akan menjadi perayaan terbesar sepanjang sejarah TNI dengan memamerkan seluruh jenis alutsista yang baru dibeli sekaligus perpisahan dengan panglima tertinggi yang berjasa besar memodernisasi militer Indonesia. Jika Kogabwilhan dibentuk sebelum atau bersamaan dengan peringatan HUT TNI nanti, diniscayakan akan menjadi momentum gagah untuk memastikan berjalannya doktrin “berani masuk digebuk”.

Jika kendalanya ada di “pemegang kendali” bintang tiga Kogabwilhan, maka pola giliran antar matra bisa diterapkan sebagaimana jabatan panglima TNI.  Saat ini semua matra TNI sedang mengembangkan organisasinya. Armada TNI AL dikembangkan menjadi 3 armada tempur, Kostrad juga menjadi 3 divisi, Marinir tak ketinggalan dengan memekarkan diri menjadi 3 Pasmar.  Alutsista baru MEF 1 terus berdatangan dan akan terus dipesan dalam MEF2 nanti.  Maka Kogabwilhan adalah bagian dari strategi transmigrasi alutsista dan pasukan untuk tidak lagi Java Centris.  Moga-moga seperti itulah kabarnya Kogabwilhan, tinggal tunggu waktu yang tepat untuk pengumumannya.