Perseteruan Antara Polisi dan Teroris makin Merucing
Buronan kasus terorisme Poso, Santoso alias Abu Wardah
Pada beberapa minggu terakhir, kembali
terjadi penyerangan terhadap anggota Polri. Yang menarik dan perlu
dibahas lebih teliti, kasus penembakan dua anggota Polri terjadi di
Tanggerang Selatan yang wilayahnya melekat dengan ibukota negara. Selain
itu pada waktu yang hampir bersamaan terjadi teror bom di Vihara
Ekayana, pada hari Minggu (4/8/2013) Jakarta. Penulis mencoba merangkai
fakta dan informasi dalam sebuah ulasan.
Penembakan pertama menimpa Aipda Patah
Saktiyono (53), anggota polisi lalu lintas Polres Metro Jakarta Pusat
pada hari Sabtu (27/7/2013), yang terjadi di Jalan Cirendeu Raya,
Ciputat, Tangerang Selatan. Peluru menembus dada kirinya, beruntung
nyawa Aipda Patah bisa diselamatkan.
Penembakan kedua terjadi pada hari Rabu
pagi (7/8/2013), aksi penembakan menimpa Aiptu Dwiyatna (50), anggota
Satuan Pembinaan Masyarakat (Bimas) Polsek Metro Cilandak yang tewas
ditembak kepalanya oleh dua orang tidak dikenal. Korban ditembak di
Jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul 05.00 WIB.
Pelakunya adalah dua orang tak dikenal yng mengendarai sepeda motor.
Saat ditembak, Aiptu Dwiyatna sedang menuju Lebak Bulus untuk
memberikan ceramah dengan mengendarai sepeda motor dinas Suzuki Smash
2643-31 VII.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol.
Rikwanto, “Kami menduga ini masih berhubungan. Kami akan selidiki dan
minta keterangan saksi. Dugaan teroris itu rangking pertama dan latar
belakang rangking ke dua," kata Rikwanto di Polda Metro Jaya.
Selanjutnya dikatakan, "Teror kepada polisi ini masih berlangsung terus.
Pelaku-pelaku lama akan terus merekrut orang-orang baru. Apalagi, orang
yang sudah punya keyakinan garis keras, sulit berubah. Jadi militan.
Mereka cenderung merekrut orang-orang baru yang bisa dicuci otaknya,
dengan dalil-dalil tertentu," kata Rikwanto.
Penembakan kedua anggota aktif Polri
tersebut menambah daftar panjang penyerangan baik kantor polisi maupun
personilnya. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo sejak bulan Desember
2012 mengakui, teroris telah mengubah sasaran atau target dengan
mengincar polisi. Dugaan aksi tersebut sebagai tindakan balasan atas
menguatnya penangkapan sejumlah terduga teroris. Polisi masih
menyelidiki penembak kedua polisi tersebut yang belum terungkap.
Sementara itu, Densus 88 Mabes Polri
pada hari Jumat (9/8/2013) pukul 22.45 WIB telah menangkap Muh Saiful
Sabani alias Ipul (26) di Yogyakarta. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol
Ronny F Sompie menjelaskan, Ipul merupakan jaringan teroris kelompok
Rohadi dan Sigit Indrajit.
Dikatakannya, "Ipul bersama Ovie,
Rohadi, Imam, dan Sigit yang telah tertangkap sebelumnya, berlatih
membuat bom yang dilatih Sepriano alias Mambo," kata Ronny kepada Sabtu
(10/8/2013). Ipul, juga ikut dalam latihan militer (i'dad) di Gunung
Salak, pada Januari 2013, selain bertugas mencari dana untuk halaqoh
yang dipimpin Rohadi. Disebutkan oleh Ronny, Ipul juga mengetahui
perencanaan teror terhadap Umat Buddha dan Kedubes Myanmar, yang dapat
digagalkan.
Nampaknya serangan ke Vihara Ekayana
memang dilakukan oleh kelompok teror lama dan baru, hanya motifnya perlu
dibuktikan. Menurut Kepala BNPT itu adalah teror bukan soal Rohingya,
sementara dari indikasi serta fakta intelijen (the past),
menurut penulis, bom Vihara adalah pesan solidaritas terhadap Rohingya.
Kita tunggu penjelasan Polri setelah diungkap tuntas pastinya.
Dari kasus diatas, walau belum dapat
dibuktikan penembak anggota polisi pelakunya kelompok teroris, tetapi
indikasi sudah menunjukkan kearah teroris. Para anggota kelompok teror
itu terus melakukan perekrutan dengan menggunakan dalil-dalil agama agar
lebih meyakinkan. Bagi mereka yang sudah tercuci otaknya (brain washing), sulit untuk kembali dinormalkan. Itulah salah satu hambatan yang dialami oleh BNPT dalam melaksanakan deradikalisasi.
Beberapa Serangan Teror Terhadap Polisi
Perkembangan kasus penyerangan anggota
Polri di dekat wilayah Jakarta serta pemboman Vihara Ekayana di Jakarta
mestinya tidak boleh dipandang enteng. Jakarta adalah ibukota negara,
situasinya haruslah kondusif. Kini sedikit banyak agak terganggu dengan
tiga kasus tersebut. Memang Jakarta beberapa kali telah dicemarkan
dengan ancaman bom misalnya ancaman teroris dari Depok, di Bekasi,
Cawang dan Tambora. Pergeseran target utama (prominent target)
dari Gereja, Masjid dan bahkan presiden kini memang bergeser menjadi
lebih spesifik polisi, yang nampaknya memang perlu diteliti lebih jauh.
Dari catatan, telah terjadi serangan
serius terhadap polisi. Misalnya, serangan terhadap Polsek Hamparan
Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada 22/9/2010 (tiga polisi tewas).
Pemboman Pasar Sumber Arta, Jalan Raya Kalimalang, Kota Bekasi dekat Pos
Polisi Sumber Aretha (30/9/2010). Pemboman Masjid di kompleks Markas
Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, belasan anggota polisi
luka-luka termasuk Kapolres Cirebon AKBP Heru Sukoco (15/4/2011).
Penembakan pos pengamanan Lebaran di
Gemblegan, Solo, Jawa Tengah (16/8/2012), dua anggota Polri luka-luka.
Pelemparan granat pos polisi di Gladak Solo (18/8/2012). Penembakan
anggota polisi di Pos Polisi di Singosaren Plaza, Serangan, Solo,
seorang anggota polisi tewas.
Pada Kamis (20/12/2012) sekitar pukul
10.00 Wita, anggota Brimob-Polda Sulawesi Tengah telah diserang oleh
sekelompok orang bersenjata di Desa Kalora, Tambarana, Poso Pesisir,
daerah Gunung Klora, empat anggota Brimob tewas. Tanggal 16 Oktober
2012, dua anggota polisi Poso ditemukan tewas mengenaskan, dikubur dalam
satu lubang di daerah Tamanjeka, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso,
Sulawesi Tengah. Pada hari Kamis pagi (15/11), rumah dinas Kapolsek Poso
Pesisir Utara, Iptu Taruklabi, ditembaki orang tidak dikenal.
Kapolsek berhasil selamat.
Senin Pagi (22/10/2012) di Pos Polisi
Kelurahan Kasintuwu Kecamatan Poso Kota Utara diserang dengan dua bom
rakitan. Sebagai akibat ledakan tersebut, seorang anggota lalu lintas
Kepolisian Poso Bripda Rusliadi dan Muhammad Akbar, seorang petugas
satpam Bank Rakyat Indonesia, mengalami luka-luka. Terjadi serangan bom
bunuh diri ke kantor Polres Poso, tidak ada korban di kalangan polisi,
pelaku tewas (3/6/2013). Dan kini terjadi penembakan terhadap dua
anggota polisi, Aipda Patah Saktiyono pada (27/7/2013), dan Aiptu
Dwiyatna (7/8/2013), seperti fakta tersebut tersebut diatas. Selain itu
masih banyak lagi kasus serangan terhadap polisi.
Dari beberapa catatan serangan teror
terhadap polisi, nampaknya memang polisi (kantor dan personilnya) kini
menjadi target utama. Teori balas dendam oleh teroris pernah diucapkan
oleh para pejabat terkait. Menurut penjelasan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, dalam kurun waktu 13
tahun sudah 840 orang pelaku teror di Indonesia yang ditangkap, dimana
sekitar 60 orang diantaranya ditembak mati di lokasi karena melawan
petugas. Dari data ini nampaknya memang bisa saja para teroris yang
masih hidup sangat membenci polisi dan akan terus membalas dendam.
Ansyad mengeluarkan teori pemberantasan
terorisme yang dikatakannya masih terdapat kelemahan UU pemberantasan
terorisme. Dinyatakannya, “Mestinya kalau kita mau betul-betul
memberantas terorisme, kegiatan-kegiatan awal yang memprovokasi
terjadinya terorisme itu harus bisa kita hentikan dengan dasar hukum.
Tapi dasar hukum untuk itu kita belum punya. Jadi dasar hukum kita untuk
ini adalah yang paling lembek dalam menghadapi aksi teroris,” katanya.
Pertanyaannya, mengapa demi kepentingan bersama, apakah UU tersebut
tidak dapat diwujudkan? Bagaimana upaya DPR, Polisi dan BNPT sendiri
dalam mewujudkan revisi UU yang sudah ada?
Memang terjadi perseteruan antara Polisi
dengan Teroris yang semakin meruncing. Kesan psikologisnya hanya polisi
yang menangani masalah terorisme, hingga dicap para teroris sebagai
musuh utamanya, inilah penyebabnya. Terorisme hanya bisa diselesaikan
apabila semua pihak terkait mau dan bersatu menanganinya. Memang dalam
mengemban tugas keamanan dalam negeri, Polisi harus siap menerima resiko
jabatan berhadapan dengan kelompok radikal yang sudah berposisi sebagai
pelaku teror. Polisi seperti kata Wakapolri, tidak perlu takut dalam
melaksanakan tugas, karena itulah resikonya. Kekhawatiran lain, dengan
masih belum ditemukan hilangnya 250 batang dinamit yang dipesan oleh PT
Batu Sarana Persada (PT BSP) dalam pengiriman ke Cigudeg, Bogor, Jawa
Barat sejak Kamis (27/6/2013) perlu mendapat perhatian khusus. Apabila
bahan peledak tersebut jatuh ketangan teroris, jelas akan berbahaya.
Menurut penulis sebaiknya polisi harus jauh lebih waspada dalam
melakukan pengamanan baik personil, materiil (kantor, markas), kegiatan
dan informasi. Jangankan polisi, presiden sebagai simbol negarapun
pernah dijadikan target oleh mereka, itulah faktanya. Teroris menjadi
lebih diuntungkan posisinya, sebagai penyerang merekalah yang mempunyai
inisiatif, polisi sebagai target mereka jelas tidak boleh lengah. Polisi
tersebar dan belum tentu semuanya juga alert dengan bahaya serangan
teror. Bila lengah korban dikalangan polisi diperkirakan akan bisa
terus berjatuhan. Walaupun disisi lain Densus 88 juga terus mengejar
mereka. Jangan sepelekan mereka.
Jangan sampai markas besar Trunojoyo dijadikan target serangan atau
pemboman, karena pasti akan meruntuhkan citra polisi. Menghadapi
kelompok radikal yang nekat, rumusnya adalah ketegasan. Soal
penyelesaian masalah terorisme dalam masalah strategi adalah bagian dari
BNPT, karena memang itulah tugasnya. Selamat bertugas, tetap waspada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar