Selasa, 13 Agustus 2013

Lebih waspada... karena mereka beroperasi di tempat yang tidak seharusnya

Perseteruan Antara Polisi dan Teroris makin Merucing

Buronan kasus terorisme Poso, Santoso alias Abu Wardah

Pada beberapa minggu terakhir, kembali terjadi penyerangan terhadap anggota Polri. Yang menarik dan perlu dibahas lebih teliti, kasus penembakan dua anggota Polri terjadi di Tanggerang Selatan yang wilayahnya melekat dengan ibukota negara. Selain itu pada waktu yang hampir bersamaan terjadi teror bom di Vihara Ekayana, pada hari Minggu (4/8/2013) Jakarta. Penulis mencoba merangkai fakta dan informasi dalam sebuah ulasan.
Penembakan pertama menimpa Aipda Patah Saktiyono (53), anggota polisi lalu lintas Polres Metro Jakarta Pusat pada hari Sabtu (27/7/2013), yang terjadi di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. Peluru menembus dada kirinya, beruntung nyawa Aipda Patah bisa diselamatkan.
Penembakan kedua terjadi pada hari Rabu pagi (7/8/2013), aksi penembakan menimpa Aiptu Dwiyatna (50), anggota Satuan Pembinaan Masyarakat (Bimas) Polsek Metro Cilandak yang tewas ditembak kepalanya oleh dua orang tidak dikenal. Korban ditembak  di Jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul 05.00 WIB. Pelakunya adalah dua orang tak dikenal yng mengendarai sepeda motor.  Saat ditembak, Aiptu Dwiyatna sedang menuju Lebak Bulus untuk memberikan ceramah dengan mengendarai sepeda motor dinas Suzuki Smash 2643-31 VII.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Rikwanto, “Kami menduga ini masih berhubungan. Kami akan selidiki dan minta keterangan saksi. Dugaan teroris itu rangking pertama dan latar belakang rangking ke dua," kata Rikwanto di Polda Metro Jaya. Selanjutnya dikatakan, "Teror kepada polisi ini masih berlangsung terus. Pelaku-pelaku lama akan terus merekrut orang-orang baru. Apalagi, orang yang sudah punya keyakinan garis keras, sulit berubah. Jadi militan. Mereka cenderung merekrut orang-orang baru yang bisa dicuci otaknya, dengan dalil-dalil tertentu," kata Rikwanto.
Penembakan kedua anggota aktif Polri tersebut menambah daftar panjang penyerangan baik kantor polisi maupun personilnya. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo sejak bulan Desember 2012 mengakui, teroris telah mengubah sasaran atau target dengan mengincar polisi. Dugaan aksi tersebut sebagai tindakan balasan atas menguatnya  penangkapan sejumlah terduga teroris. Polisi masih menyelidiki penembak kedua polisi tersebut yang belum terungkap.
Sementara itu, Densus 88 Mabes Polri pada hari Jumat (9/8/2013) pukul 22.45 WIB telah menangkap Muh Saiful Sabani alias Ipul (26) di Yogyakarta.  Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie menjelaskan, Ipul merupakan jaringan teroris kelompok Rohadi dan Sigit Indrajit.
Dikatakannya, "Ipul bersama Ovie, Rohadi, Imam, dan Sigit yang telah tertangkap sebelumnya, berlatih membuat bom yang dilatih Sepriano alias Mambo," kata Ronny kepada Sabtu (10/8/2013). Ipul,  juga ikut dalam latihan militer (i'dad) di Gunung Salak, pada Januari 2013, selain bertugas mencari dana untuk halaqoh yang dipimpin Rohadi.  Disebutkan oleh Ronny,  Ipul juga mengetahui perencanaan teror terhadap Umat Buddha dan Kedubes Myanmar, yang dapat digagalkan.
Nampaknya serangan ke Vihara Ekayana memang dilakukan oleh kelompok teror lama dan baru, hanya motifnya perlu dibuktikan. Menurut Kepala BNPT itu adalah teror bukan soal Rohingya, sementara dari indikasi serta fakta intelijen (the past), menurut penulis, bom Vihara adalah pesan solidaritas terhadap Rohingya. Kita tunggu penjelasan Polri setelah diungkap tuntas pastinya.
Dari kasus diatas, walau belum dapat dibuktikan penembak anggota polisi pelakunya kelompok teroris, tetapi indikasi sudah menunjukkan kearah teroris. Para anggota kelompok teror itu terus melakukan perekrutan dengan menggunakan dalil-dalil agama agar lebih meyakinkan. Bagi mereka yang sudah tercuci otaknya (brain washing), sulit untuk kembali dinormalkan. Itulah salah satu hambatan yang dialami oleh BNPT dalam melaksanakan deradikalisasi.

Beberapa Serangan Teror Terhadap Polisi

Perkembangan kasus penyerangan anggota Polri di dekat wilayah Jakarta serta pemboman Vihara Ekayana di Jakarta mestinya tidak boleh dipandang enteng. Jakarta adalah ibukota negara, situasinya haruslah kondusif. Kini sedikit banyak agak terganggu dengan tiga kasus tersebut. Memang Jakarta beberapa kali telah dicemarkan dengan ancaman bom misalnya ancaman teroris dari  Depok, di Bekasi, Cawang dan Tambora. Pergeseran target utama (prominent target) dari Gereja, Masjid dan bahkan presiden kini memang bergeser menjadi lebih spesifik polisi, yang nampaknya memang perlu diteliti lebih jauh.
Dari catatan, telah terjadi serangan serius terhadap polisi. Misalnya,  serangan terhadap Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada 22/9/2010 (tiga polisi tewas). Pemboman Pasar Sumber Arta, Jalan Raya Kalimalang, Kota Bekasi dekat Pos Polisi Sumber Aretha (30/9/2010). Pemboman Masjid di kompleks Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, belasan anggota polisi luka-luka termasuk Kapolres Cirebon AKBP Heru Sukoco (15/4/2011).
Penembakan pos pengamanan Lebaran di  Gemblegan, Solo, Jawa Tengah (16/8/2012), dua anggota Polri luka-luka. Pelemparan granat pos polisi di Gladak Solo (18/8/2012). Penembakan anggota polisi di Pos Polisi di Singosaren Plaza, Serangan, Solo, seorang anggota polisi tewas.
Pada Kamis (20/12/2012) sekitar pukul 10.00 Wita, anggota Brimob-Polda Sulawesi Tengah telah diserang oleh sekelompok orang bersenjata di Desa Kalora, Tambarana, Poso Pesisir, daerah Gunung Klora, empat anggota Brimob tewas. Tanggal 16 Oktober 2012, dua anggota polisi Poso ditemukan tewas mengenaskan, dikubur dalam satu lubang di daerah Tamanjeka, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah. Pada hari Kamis pagi (15/11), rumah dinas Kapolsek Poso Pesisir Utara, Iptu Taruklabi, ditembaki orang tidak dikenal. Kapolsek berhasil selamat.
Senin Pagi (22/10/2012) di Pos Polisi Kelurahan Kasintuwu Kecamatan Poso Kota Utara diserang dengan dua bom rakitan.  Sebagai akibat ledakan tersebut, seorang anggota lalu lintas Kepolisian Poso Bripda Rusliadi dan Muhammad Akbar, seorang petugas satpam Bank Rakyat Indonesia, mengalami  luka-luka. Terjadi serangan bom bunuh diri ke kantor Polres Poso, tidak ada korban di kalangan polisi, pelaku tewas (3/6/2013). Dan kini terjadi penembakan terhadap dua anggota polisi, Aipda Patah Saktiyono pada (27/7/2013), dan Aiptu Dwiyatna (7/8/2013), seperti fakta tersebut tersebut diatas. Selain itu masih banyak lagi kasus serangan terhadap polisi.
Dari beberapa catatan serangan teror terhadap polisi, nampaknya memang polisi (kantor dan personilnya) kini menjadi target utama. Teori balas dendam oleh teroris pernah diucapkan oleh para pejabat terkait. Menurut penjelasan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, dalam kurun waktu 13 tahun sudah 840 orang pelaku teror di Indonesia yang ditangkap, dimana sekitar 60 orang diantaranya ditembak mati di lokasi karena melawan petugas. Dari data ini nampaknya memang bisa saja para teroris yang masih hidup sangat membenci polisi dan akan terus membalas dendam.
Ansyad mengeluarkan teori pemberantasan terorisme yang dikatakannya masih terdapat kelemahan UU pemberantasan terorisme. Dinyatakannya, “Mestinya kalau kita mau betul-betul memberantas terorisme, kegiatan-kegiatan awal yang memprovokasi terjadinya terorisme itu harus bisa kita hentikan dengan dasar hukum. Tapi dasar hukum untuk itu kita belum punya. Jadi dasar hukum kita untuk ini adalah yang paling lembek dalam menghadapi aksi teroris,” katanya. Pertanyaannya, mengapa demi kepentingan bersama, apakah UU tersebut tidak dapat diwujudkan? Bagaimana upaya DPR, Polisi dan BNPT sendiri dalam mewujudkan revisi UU yang sudah ada?
Memang terjadi perseteruan antara Polisi dengan Teroris yang semakin meruncing. Kesan psikologisnya hanya polisi yang menangani masalah terorisme, hingga dicap para teroris  sebagai musuh utamanya,  inilah penyebabnya. Terorisme hanya bisa diselesaikan apabila semua pihak terkait mau dan bersatu menanganinya. Memang dalam mengemban tugas keamanan dalam negeri, Polisi harus siap menerima resiko jabatan berhadapan dengan kelompok radikal yang sudah berposisi sebagai pelaku teror. Polisi seperti kata Wakapolri, tidak perlu takut dalam melaksanakan tugas, karena itulah resikonya. Kekhawatiran lain, dengan masih belum ditemukan hilangnya 250 batang dinamit yang dipesan oleh PT Batu Sarana Persada (PT BSP) dalam pengiriman ke Cigudeg, Bogor, Jawa Barat sejak Kamis (27/6/2013) perlu mendapat perhatian khusus. Apabila bahan peledak tersebut jatuh ketangan teroris, jelas akan berbahaya.
Menurut penulis sebaiknya polisi harus jauh lebih waspada dalam melakukan pengamanan baik personil, materiil (kantor, markas), kegiatan dan informasi. Jangankan polisi, presiden sebagai simbol negarapun pernah dijadikan target oleh mereka, itulah faktanya. Teroris menjadi lebih diuntungkan posisinya, sebagai penyerang merekalah yang mempunyai inisiatif, polisi sebagai target mereka jelas tidak boleh lengah. Polisi tersebar dan belum tentu semuanya juga  alert dengan bahaya serangan teror. Bila lengah korban dikalangan polisi diperkirakan akan bisa  terus berjatuhan. Walaupun disisi lain Densus 88 juga terus mengejar mereka.  Jangan sepelekan mereka. Jangan sampai markas besar Trunojoyo  dijadikan target serangan atau pemboman, karena pasti akan meruntuhkan citra polisi. Menghadapi kelompok radikal yang nekat, rumusnya adalah ketegasan. Soal penyelesaian masalah terorisme dalam masalah strategi adalah bagian dari BNPT, karena memang itulah tugasnya. Selamat bertugas, tetap waspada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar